Sebenernya sih, udah selesai lama. Cuma berhubung gue nggak sempet ngepost, akhirnya yaaa kelamaan dah. heheeeEEE...
________________
Aku akhirnya resmi putus dari
Risky. Ada rasa kosong dalam hati. Entahlah, apa ini hanyalah kebiasaan yang
tiba-tiba tak terlaksana, atau memang aku membutuhkannya.
Tapi, dia tetap menghubungiku. Menelponku, meski tak sesering dulu. Masih suka
menyanyi untukku. Tetap saja hatiku getir, ketika teringat kembali alasannya
meninggalkanku dulu.
Aku masih suka menangis sendiri.
Memeluk teddy bear-ku dan menganggap
itu Risky. Memeluk erat-erat dan berbisik di telinganya meskipun kutahu itu
sia-sia.
“Aku mencintaimu, kenapa kamu
tega sekali meninggalkanku,” begitulah bisikku berulang-ulang pada bonekaku.
Tetapi boneka itu hanya tersenyum, membisu. Dan aku akan memeluknya erat-erat
dan menangis di kepalanya. Terus, terus, berulang-ulang tiap malam ritual itu
aku lakukan.
*****
Biarkan aku melukiskan bayangmu...
Karena semua mungkin akan sirna...
Bagai rembulan sebelum fajar tiba...
Kau slalu ada walau tersimpan di relung hati terdalam...
*****
Sudah lebih delapan bulan
perpisahanku dengan Risky. Aku masih belum bisa melupakannya. Dia juga masih single, entah karena masih merasa
bersalah padaku atau memang belum menemukan pasangan yang cocok.
Risky tahu, aku masih menyimpan
potretnya di ponselku, atau laptopku. Dia tahu, tapi dia membiarkannya. Aku
tahu dia merasa bersalah, tapi apa daya? Aku tak perlu menahan seseorang yang
bahkan tak mampu mempertahankanku, sekalipun aku masih teramat mencintainya.
Aku hanya ingin menjadikan Risky sebuah kenangan saja. Dan luka.
Setiap aku teringat padanya,
entah mengapa tiba-tiba air mataku mengalir. Apa karena menyesal karena
membiarkannya pergi, atau karena kekecewaan yang mendalam, aku tak tahu. Yang
jelas, setiap teringat padanya aku pasti menangis. Ada saja yang mengingatkanku
padanya. Entah itu lagu yang menggambarkan keadaanku atau lagu yang sering
dinyanyikannya, pemberiannya, kata-kata yang sering diucapkannya yang tak
sengaja diucapkan orang lain lalu terdengar olehku, atau apapun itu. Sepertinya
semua hal dapat mengingatkanku pada Risky.
Aku masih berkutat di depan
laptop. Tugas dari dosen masih menyita konsentrasiku. Aku menguap. Lalu
menyeruput secangkir kopi kental yang sudah dingin. Kulirik weker di meja
belajarku yang remang-remang. Hampir pukul tiga pagi. Huaaah. Aku capek sekali. Segera kututup laptop dan beranjak menuju
ranjang sebelum subuh menjelang.
Tempat tidurku kuposisikan di
samping jendela. Agar ketika pagi, sinar matahari segera masuk dan
membangunkanku. Aku mengucek-ngucek mataku yang lelah, lalu menarik tirai agar
terbuka.
Tampaklah bulan purnama yang
bulat sempurna di langit ufuk timur.
Bahkan purnamapun mengingatkanku
pada Risky. Seolah wajahnya terlukis di bulan itu. Seolah tersenyum menatapku
dan berkata,”jangan suka begadang, ingat
kesehatanmu.”
Mendadak hatiku sedih. Kupeluk
bonekaku dan aku menyusup dalam selimut. Kutangkupkan kepalaku di bantal.
Menangis tanpa mengisak, menjerit sekencangnya dalam hati. Hingga subuh
memanggil dan langit pelan-pelan memerah. Meninggalkan jejak purnama semalam.
*****
THE END
0 komentar:
Posting Komentar