Meskipun bila saat ini...
Kita sudah tak bersama lagi...
Ada satu, yang kurindu...
Kehangatan cinta dalam pelukanmu...
*****
Tanpa terasa, hubunganku dan
Risky sudah berjalan dua tahun tujuh bulan. Banyak yang menemani kisah kami.
Air mata, keegoisan, saling pengertian, mulut-mulut biang gosip, wanita
penggangu, maupun mantan. Semuanya telah kami lalui. Kami lewati bersama. Tetapi,
ada satu problem yang mengganggu
diantara kami berdua. Hanya satu. Tapi jujur saja, kami belum mampu
menyelesaikannya.
Jarak.
Aku berniat melanjutkan
pendidikanku di UGM. Universitas impianku. Tetapi Risky tetap ingin di Unsri.
Yogyakarta – Palembang. Bukan jarak yang hanya ditempuh dalam lima menit.
Siapa yang bisa menentang jarak?
Masalah seberat apapun, termasuk wanita pengganggu saja masih bisa kami atasi.
Tapi, jarak? Bukan hal yang mudah melakukan LDR seperti kebanyakan orang. Ada
saja penghalang LDR itu. Lagipula, frekuensi bertemu tidak seperti dulu.
Sebenarnya, aku fine-fine saja. Tak
masalah bagiku, aku bukan tipe cewek yang menuntut harus bertemu. Setidaknya
memegang kepercayaan dan memberi kabar sudah cukup. Tapi tidak untuk Risky.
Risky takut seiring berjalannya
waktu kepercayaan itu makin pudar. Dia berkata takut mengecewakanku. Takut
kalau tiba-tiba berselingkuh, memang awalnya berkata tidak, tapi kemungkinan
itu ada. Bahkan lebih besar.
“Kenapa?” tanyaku bodoh. Masih
saja bertanya, padahal sudah tahu jawabannya.
“Aku tidak kuat pada jarak, Fir.
Aku takut menyakitimu nantinya,” katanya.
Aku tercenung. Hanya sebatas
inikah perasaannya? Tak mampu melawan jarak. Katanya sayang, tapi untuk urusan
jarak saja tak mampu membuatnya mudah. “Hanya” jarak. Lagipula ini hanya antar
kota, uh oke, antar pulau. Bukan antar negara apalagi antar benua. Pernah
kubaca di sebuah situs tentang pasangan LDR antara Bali – Belanda, sudah
berlangsung selama dua tahun dan tak lama mereka prepare untuk married.
Pasangan antar benua saja bisa
melakoninya. Kenapa hanya antar provinsi sudah menyerah? Mana pengorbanannya
seperti yang biasa dilakukan?
Kuncinya cuma kepercayaan, begitu tulis orang itu di situs
tersebut.
Mataku memanas membacanya.
Dia tidak tahu. Rasa cintaku
lebih besar dari jarak kedua kota tersebut. Bahkan lebih besar dari tiap inci
lekukan bumi.
*****
"Kita pisah, ya..."
"Pisah itu maksudnya... putus?"
Terdengar helaan napas berat,"jangan seperti itu, dong. Aku tidak menyebut putus. Tapi pisah."
"Sama saja," aku menjawab lirih. Kurasakan suaraku bergetar.
"Tidak. Kita hanya merubah status. Tak ada yang berubah. Apapun yang kita lakukan selama ini, tak ada yang berubah nantinya."
Diam. Kurasakan air hangat mengalir di pipiku.
"Mengapa? Apa yang salah?" tanyaku bodoh.
"Aku tak ingin menyakitimu, aku takut dengan jarak. Aku takut aku semakin sibuk dan menyalahgunakan kepercayaan yang kau berikan."
"Aku bisa LDR..."
"Tapi aku tidak."
Diam.
"Halooo?"
"Ah, maaf," aku menyeka ingusku. Tak tahu harus mengatakan apalagi.
"Jangan menangis," terdengar isakan pelan. "Akupun tak ingin. Tapi keadaan yang memaksa."
"Aku mencintaimu. Masih sangat mencintaimu," ujarku jujur.
"Aku tahu. Akupun demikian."
"Saling mencintai, tapi mengapa harus berpisah?" aku menangis sejadi-jadinya.
"Pisah itu maksudnya... putus?"
Terdengar helaan napas berat,"jangan seperti itu, dong. Aku tidak menyebut putus. Tapi pisah."
"Sama saja," aku menjawab lirih. Kurasakan suaraku bergetar.
"Tidak. Kita hanya merubah status. Tak ada yang berubah. Apapun yang kita lakukan selama ini, tak ada yang berubah nantinya."
Diam. Kurasakan air hangat mengalir di pipiku.
"Mengapa? Apa yang salah?" tanyaku bodoh.
"Aku tak ingin menyakitimu, aku takut dengan jarak. Aku takut aku semakin sibuk dan menyalahgunakan kepercayaan yang kau berikan."
"Aku bisa LDR..."
"Tapi aku tidak."
Diam.
"Halooo?"
"Ah, maaf," aku menyeka ingusku. Tak tahu harus mengatakan apalagi.
"Jangan menangis," terdengar isakan pelan. "Akupun tak ingin. Tapi keadaan yang memaksa."
"Aku mencintaimu. Masih sangat mencintaimu," ujarku jujur.
"Aku tahu. Akupun demikian."
"Saling mencintai, tapi mengapa harus berpisah?" aku menangis sejadi-jadinya.
"Karena aku tak ingin
menyakitimu nantinya."
"Kau sudah menyakitiku sekarang."
Diam lagi.
"Halo?"
"Halo..."
"Maafkan aku."
Hanya isakanku yang terdengar.
"Ini demi kebaikanmu..."
"Aku tak mengerti dan tak akan pernah mengerti."
"Suatu saat, kau akan mengerti keputusanku ini."
"Kau sudah menyakitiku sekarang."
Diam lagi.
"Halo?"
"Halo..."
"Maafkan aku."
Hanya isakanku yang terdengar.
"Ini demi kebaikanmu..."
"Aku tak mengerti dan tak akan pernah mengerti."
"Suatu saat, kau akan mengerti keputusanku ini."
*****
0 komentar:
Posting Komentar