Sebuah Nyanyian Hati #4

Kamis, 26 Februari 2015


Besok lusa adalah ulang tahun Dhila. Pacarnya Dhila, sekaligus teman sekelasku juga adalah ketua kelasku. Namanya Awan. Kisah Awan dan Dhila tak serumit kisahku. Mereka dari awal tahun ajaran memang dekat, pedekate dua minggu, udah saling memanggil akang dan teteh. Beberapa hari kemudian tiba-tiba Dhila bertandang ke rumahku dan mengatakan Awan menyatakan cinta padanya. Taraaaa mereka bisa jadian. Tak ada gangguan, tak ada hambatan, mengalir begitu saja. Ah, Dhila.
Awan sedang bingung bagaimana menyiapkan kejutan untuk Dhila. Jadilah ia berkonsultasi padaku, berhubung aku adalah teman sebangkunya dan teman akrab pacarnya. Awan sendiri mengetahui perasaanku pada Risky. Sudah kubilang, ini bukan lagi rahasia antar dua-tiga orang. Tapi sudah bertransformasi menjadi gosip.
Awan menungguku di sebuah bangku dekat perumahan rumahku bersama temannya dari kelas sebelah, Apri.
“Udah kamu siapin buat ulang tahun Dhila?” tanyaku tanpa basa-basi saat aku sudah menemuinya.
“Belum, aku juga bingung nih,” keluhnya.
Akhirnya aku yang mengusulkan begini, begini, begini untuk ulang tahun Dhila. Ujungnya, dia justru bingung sendiri! Hoalaaah.
Karena capek, dan aku juga mulai bosan, akhirnya Awan menyudahi pembicaraan ini. Aku juga mohon diri ingin pulang, banyak pekerjaan rumah yang belum kuselesaikan. Sebelum pulang, Awan mengatakan sesuatu.
“Fir...” panggilnya. “Eh, gak jadi deh.”
“Apaan? Udah manggil jangan nggak jadi, deh. Jangan setengah-setengah.”
“Tapi kamu janji ya, jangan ngomong apapun? Pura-pura aja nggak tahu!” dia meminta kepastian.
“Iya, apaan? Cepetan ngomong.”
“Risky, dia...”

Sebuah Nyanyian Hati #3

Kamis, 12 Februari 2015

           Aku sudah merelakan Risky. Biarlah, biarlah semua mengalir begitu saja. Risky berhak menentukan pilihannya. Malam ini, aku sudah membuang semua rasa itu. Air mata juga sudah mengering. Aku tahu konsekuensi jatuh cinta diam-diam. Pada akhirnya, orang yang jatuh cinta diam-diam hanya akan menyaksikan dari kejauhan. Hanya bisa mendoakannya dalam diam.
Seperti aku.
Orang yang jatuh cinta diam-diam. Menulis surat juga hanya ditemani oleh pena, saksi bisu semua ini. Surat untuk Risky, yang tentu saja tak akan tersampaikan padanya.
Malam ini, kurelakan Risky pergi. Aku menerima kenyataan bahwa aku hanyalah seorang penonton. Yang menyaksikan semuanya di luar panggung kehidupannya.

Sebuah Nyanyian Hati #2

Sabtu, 07 Februari 2015

     Ternyata, Risky cukup akrab dengan beberapa anak di kelas. Dengan anak perempuan apalagi! Tapi aku cukup pandai menepis rasa tidak sukaku dengan pura-pura tak acuh. Satu lagi kepribadianku yang dinilai berlebihan oleh teman sekelasku: cuek. Nampaknya ini yang membuatku tak dilirik sama sekali oleh Risky. Pernah sih, tapi seperti biasa, jika dia mengajakku bicara, aku akan menjawab seadanya dan tak menoleh ke arahnya. Mungkin itu sebabnya dia tak melirikku sama sekali. Itu kulakukan karena aku grogi, aku tak ingin terlihat salah tingkah di depannya. Aaargh, Fira dodooool!
      Suatu hari, aku tak tahan lagi. Mungkin aku terlalu terburu-buru. Mungkin juga tidak. Aku mengaguminya selama dua bulan, dihitung sejak ia maju ke depan kelas beberapa waktu lalu. Aku menceritakan ini pada temanku yang tak bisa dibilang akrab dan juga tak dekat. Tapi karena reputasinya yang baik, aku percaya saja, sih. Seharusnya aku cerita saja pada Dhila dibanding dia, yang membuatku menyesal di kemudian hari. Namanya Vioni.
      “Vi, aku lagi suka sama orang, nih. Dia anak kelas kita. Tapi jangan tanya siapa orangnya,” ungkapku begitu saja ke inti saat aku sedang berkunjung ke rumahnya.
Raut wajah Vioni tak begitu jelas. Kebetulan saat itu aku berkunjung pada waktu sore yang mendung. Ditambah lagi adanya pemadaman listrik, jadi aku menerka saja bagaimana reaksinya. Pastilah seperti lazimnya kebanyakan orang, Vioni menampilkan wajah penasaran dan ingin tahu. Tetapi kurasa tebakanku salah begitu mendengar jawabannya.
“Risky, bukan?”
Tuiiing! Kok tahu, sih?!
“Hah, kok tahu sih, Vi?” kaget, ya jelas.
“Ya kelihatan dari kamunya,” kata Vioni.
“Tapi jangan kau utarakan padanya,” aku setengah mengancam. “Bisa gawat kalo dia tahu. Malu. Mau disembunyikan dimana mukaku nanti.”

Sebuah Nyanyian Hati #1

Selasa, 03 Februari 2015



Prolog: Aku baru pulang kuliah, ketika kubuka pintu kos masih terkunci rapat. Kulirik jam dinding di ruang tengah. Pukul sembilan malam. Duh, aku terlampau lelah untuk mengerjakan tugas. Biarlah, mungkin menjelang subuh baru kukebut. Lagipula hanya “sekedar” revisi.
                Setelah mandi dan berberes, aku segera bersantai. Duduk di atas ranjang dengan secangkir kopi gingseng dan menonton drama Korea. Yeah, untuk santai tak perlu mahal. Cukup seperti ini sudah menenangkan pikiranku.
                Saat menekan tombol on, tiba-tiba terdengar suara radio dari kamar sebelah yang memutar sebuah lagu.
Ku melintas, pada satu masa
Ketika kumenemukan cinta
Saat itu kehadiranmu
Memberi arti bagi hidupku
Meskipun bila saat ini
Kita sudah tak bersama lagi
Ada satu, yang kurindu
Kehangatan cinta dalam pelukanmu
Biarkan aku melukiskan bayangmu
Karena semua mungkin akan sirna
Bagai rembulan sebelum fajar tiba
Kau slalu ada walau tersimpan di relung hati terdalam
(Adera – Melukis Bayangmu)
                Mendadak hatiku sedih. Teringat hal yang tak seharusnya kuingat. Kubatalkan menonton K-drama. Menyingkirkan laptop ke meja belajar. Dan aku menangis di bawah tangkupan bantal.
 
Copyright 2010 Powered by blogger
Winter Christmas design by freebingo bloggerized by Biyan Networks Brought to you by Dzignine.com