Sebuah Nyanyian Hati #1

Selasa, 03 Februari 2015



Prolog: Aku baru pulang kuliah, ketika kubuka pintu kos masih terkunci rapat. Kulirik jam dinding di ruang tengah. Pukul sembilan malam. Duh, aku terlampau lelah untuk mengerjakan tugas. Biarlah, mungkin menjelang subuh baru kukebut. Lagipula hanya “sekedar” revisi.
                Setelah mandi dan berberes, aku segera bersantai. Duduk di atas ranjang dengan secangkir kopi gingseng dan menonton drama Korea. Yeah, untuk santai tak perlu mahal. Cukup seperti ini sudah menenangkan pikiranku.
                Saat menekan tombol on, tiba-tiba terdengar suara radio dari kamar sebelah yang memutar sebuah lagu.
Ku melintas, pada satu masa
Ketika kumenemukan cinta
Saat itu kehadiranmu
Memberi arti bagi hidupku
Meskipun bila saat ini
Kita sudah tak bersama lagi
Ada satu, yang kurindu
Kehangatan cinta dalam pelukanmu
Biarkan aku melukiskan bayangmu
Karena semua mungkin akan sirna
Bagai rembulan sebelum fajar tiba
Kau slalu ada walau tersimpan di relung hati terdalam
(Adera – Melukis Bayangmu)
                Mendadak hatiku sedih. Teringat hal yang tak seharusnya kuingat. Kubatalkan menonton K-drama. Menyingkirkan laptop ke meja belajar. Dan aku menangis di bawah tangkupan bantal.


            *****
Ku melintas, pada satu masa
Ketika kumenemukan cinta...
*****
Aku merapikan diriku terakhir kalinya di depan cermin. Memastikan semuanya sempurna pagi ini. Tidak ada lagi lipatan kecil di ujung lengan bajuku karena kurang teliti saat menyetrikanya. Yap, aku siap. Tinggal sentuhan terakhir. Parfum! Aku tak ingin sepanjang siang nanti berbau kambing akibat keringatku yang hidden killer.
Sroot! Sroot! Akhirnya. Perfecto.
Aku meraih ransel cokelatku di atas ranjang. Menyelipkan sebuah novel kesukaanku di dalamnya. Lalu menyampirkannya di kedua bahu sebelum memakai sepatu. Jam berapa sekarang? Astaga! Hampir setengah tujuh!
Aku memakai sepatu dengan terburu-buru. Oh God, aku melupakan sarapan lagi pagi ini. Tapi peduli amat. Bisa gawat jika aku terlambat. Meski bukan siswi yang luar biasa, aku tak ingin namaku masuk black list sebagai siswi yang terlambat. Aku belum pernah sekalipun terlambat dan tak ingin merusak citraku sebagai siswi yang tak pernah datang telat.
“Ma, aku pergi dulu,” aku mencium tangan Mama yang mengantarku di depan pintu.
“Hati-hati ya, Sayang. Belajar yang rajin,” pesannya seraya menyelipkan selembar uang sepuluh ribu ke sakuku.
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan dekat, aku akhirnya sampai. Pelajaran pertama adalah bahasa Indonesia. Dan seperti biasa, teman sebangkuku, Dhila belum datang. Mana ada sejarahnya dia datang mendahuluiku. Nanti, sebelum bel berbunyi lima menit lagi barulah dia tiba.
Lantas, semua teman sekelasku sudah tiba. Sambil menunggu bel masuk, kukeluarkan novel yang tadi kubawa. Lumayan buat membunuh waktu sebelum Bu Leli tiba.
*****
Pelajaran Bu Leli kali ini topiknya tak menarik bagiku. Membahas soal di akhir bab. Sebenarnya yang membuat aku tak bersemangat adalah sistemnya. Bu Leli menginginkan anak-anak yang bersedia menjawab soal-soal tersebut maju di depan kelas. Satu anak, satu soal saja. Yang bersedia silakan mendaftar dengan cara menulis namanya di papan tulis beserta nomer soal yang ingin dibahas. Anak yang maju mendapat poin plus. Jika ada yang bertentangan dengan opsi yang dijawab si penjawab di depan, bolehlah diadakan debat kecil. Inilah yang tak kusuka. Aku kurang suka perang mulut di depan khalayak.
Aku mengembuskan napas bosan. Beberapa teman-temanku nampak antusias sekali. Berebut menuliskan namanya di papan tulis. Bersahut-sahutan “membooking” nomer yang ingin dijawab. Aku berdecak, menarik keluar novelku di laci meja. Biarlah untuk kali ini pelajaran Bahasa Indonesia aku ‘nakal’ sedikit.
Hampir 25 menit berlalu. Baru dua anak yang maju menjawab. Masih ada beberapa anak lagi yang mengantri dengan menyiapkan amunisi jawaban dan alasannya. Hingga di urutan ketiga, berlangsung lebih lama! Tampaknya temanku yang satu ini benar-benar menikmati saat-saat maju ke depan kelas. Karena leherku sakit terus-terusan membaca menunduk dan karena ingin tahu siapa yang telah mengulur waktu begitu lama dengan debatnya, aku mendongak. Melihat Bu Leli yang tersenyum semangat. Dan temanku itu.
Oh Tuhan! Oh Tuhan! Siapa sih, dia? Amboiii, cakepnyaaa. Wajahnya yang serius saat mendebat. Terlihat seperti banyak debu berkilauan di sekitarnya. Oke, mungkin aku sedikit lebay. Tapi aku benar-benar terpesona. Dia benar-benar... oh. Siapa sih dia? Aduh, sifat introvertku nampaknya masih berlaku di SMA ini. Sampai-sampai tak mengenali teman satu kelas.
Kulirik daftar nama teman-temanku yang tertulis di papan tulis. Urutan ketiga... urutan ketiga... ehm, oh, namanya Risky FM. Risky, Risky, akan kuingat baik-baik dalam memoriku namanya.
Ku melintas, pada satu masa...
Ketika kumenemukan cinta...
*****

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2010 Powered by blogger
Winter Christmas design by freebingo bloggerized by Biyan Networks Brought to you by Dzignine.com