Prolog: Aku baru pulang kuliah, ketika kubuka pintu kos masih
terkunci rapat. Kulirik jam dinding di ruang tengah. Pukul sembilan malam. Duh,
aku terlampau lelah untuk mengerjakan tugas. Biarlah, mungkin menjelang subuh
baru kukebut. Lagipula hanya “sekedar” revisi.
Setelah
mandi dan berberes, aku segera bersantai. Duduk di atas ranjang dengan
secangkir kopi gingseng dan menonton drama Korea. Yeah, untuk santai tak perlu mahal. Cukup seperti ini sudah
menenangkan pikiranku.
Saat
menekan tombol on, tiba-tiba
terdengar suara radio dari kamar sebelah yang memutar sebuah lagu.
Ku melintas, pada satu masa
Ketika kumenemukan cinta
Saat itu kehadiranmu
Memberi arti bagi hidupku
Meskipun bila saat ini
Kita sudah tak bersama lagi
Ada satu, yang kurindu
Kehangatan cinta dalam pelukanmu
Biarkan aku melukiskan bayangmu
Karena semua mungkin akan sirna
Bagai rembulan sebelum fajar tiba
Kau slalu ada walau tersimpan di relung
hati terdalam
(Adera – Melukis Bayangmu)
Mendadak
hatiku sedih. Teringat hal yang tak seharusnya kuingat. Kubatalkan menonton
K-drama. Menyingkirkan laptop ke meja belajar. Dan aku menangis di bawah
tangkupan bantal.
*****
Ku melintas, pada satu masa
Ketika kumenemukan cinta...
*****
Aku merapikan
diriku terakhir kalinya di depan cermin. Memastikan semuanya sempurna pagi ini.
Tidak ada lagi lipatan kecil di ujung lengan bajuku karena kurang teliti saat
menyetrikanya. Yap, aku siap. Tinggal sentuhan terakhir. Parfum! Aku tak ingin
sepanjang siang nanti berbau kambing akibat keringatku yang hidden killer.
Sroot! Sroot! Akhirnya. Perfecto.
Aku meraih
ransel cokelatku di atas ranjang. Menyelipkan sebuah novel kesukaanku di
dalamnya. Lalu menyampirkannya di kedua bahu sebelum memakai sepatu. Jam berapa
sekarang? Astaga! Hampir setengah tujuh!
Aku memakai
sepatu dengan terburu-buru. Oh God,
aku melupakan sarapan lagi pagi ini. Tapi peduli amat. Bisa gawat jika aku
terlambat. Meski bukan siswi yang luar biasa, aku tak ingin namaku masuk black list sebagai siswi yang terlambat.
Aku belum pernah sekalipun terlambat dan tak ingin merusak citraku sebagai
siswi yang tak pernah datang telat.
“Ma, aku pergi
dulu,” aku mencium tangan Mama yang mengantarku di depan pintu.
“Hati-hati ya,
Sayang. Belajar yang rajin,” pesannya seraya menyelipkan selembar uang sepuluh
ribu ke sakuku.
Setelah
menempuh perjalanan yang lumayan dekat, aku akhirnya sampai. Pelajaran pertama
adalah bahasa Indonesia. Dan seperti biasa, teman sebangkuku, Dhila belum
datang. Mana ada sejarahnya dia datang mendahuluiku. Nanti, sebelum bel
berbunyi lima menit lagi barulah dia tiba.
Lantas, semua
teman sekelasku sudah tiba. Sambil menunggu bel masuk, kukeluarkan novel yang
tadi kubawa. Lumayan buat membunuh waktu sebelum Bu Leli tiba.
*****
Pelajaran Bu
Leli kali ini topiknya tak menarik bagiku. Membahas soal di akhir bab.
Sebenarnya yang membuat aku tak bersemangat adalah sistemnya. Bu Leli
menginginkan anak-anak yang bersedia menjawab soal-soal tersebut maju di depan
kelas. Satu anak, satu soal saja. Yang bersedia silakan mendaftar dengan cara
menulis namanya di papan tulis beserta nomer soal yang ingin dibahas. Anak yang
maju mendapat poin plus. Jika ada
yang bertentangan dengan opsi yang dijawab si penjawab di depan, bolehlah
diadakan debat kecil. Inilah yang tak kusuka. Aku kurang suka perang mulut di
depan khalayak.
Aku
mengembuskan napas bosan. Beberapa teman-temanku nampak antusias sekali.
Berebut menuliskan namanya di papan tulis. Bersahut-sahutan “membooking” nomer
yang ingin dijawab. Aku berdecak, menarik keluar novelku di laci meja. Biarlah
untuk kali ini pelajaran Bahasa Indonesia aku ‘nakal’ sedikit.
Hampir 25
menit berlalu. Baru dua anak yang maju menjawab. Masih ada beberapa anak lagi
yang mengantri dengan menyiapkan amunisi jawaban dan alasannya. Hingga di
urutan ketiga, berlangsung lebih lama! Tampaknya temanku yang satu ini
benar-benar menikmati saat-saat maju ke depan kelas. Karena leherku sakit
terus-terusan membaca menunduk dan karena ingin tahu siapa yang telah mengulur
waktu begitu lama dengan debatnya, aku mendongak. Melihat Bu Leli yang
tersenyum semangat. Dan temanku itu.
Oh Tuhan! Oh
Tuhan! Siapa sih, dia? Amboiii, cakepnyaaa. Wajahnya yang serius saat mendebat.
Terlihat seperti banyak debu berkilauan di sekitarnya. Oke, mungkin aku sedikit
lebay. Tapi aku benar-benar
terpesona. Dia benar-benar... oh. Siapa sih dia? Aduh, sifat introvertku
nampaknya masih berlaku di SMA ini. Sampai-sampai tak mengenali teman satu
kelas.
Kulirik daftar
nama teman-temanku yang tertulis di papan tulis. Urutan ketiga... urutan
ketiga... ehm, oh, namanya Risky FM. Risky, Risky, akan kuingat baik-baik dalam
memoriku namanya.
Ku melintas, pada satu masa...
Ketika kumenemukan cinta...
*****
0 komentar:
Posting Komentar