Besok lusa adalah ulang tahun Dhila. Pacarnya Dhila, sekaligus teman sekelasku juga adalah ketua kelasku. Namanya Awan. Kisah Awan dan Dhila tak serumit kisahku. Mereka dari awal tahun ajaran memang dekat, pedekate dua minggu, udah saling memanggil akang dan teteh. Beberapa hari kemudian tiba-tiba Dhila bertandang ke rumahku dan mengatakan Awan menyatakan cinta padanya. Taraaaa mereka bisa jadian. Tak ada gangguan, tak ada hambatan, mengalir begitu saja. Ah, Dhila.
Awan sedang bingung bagaimana
menyiapkan kejutan untuk Dhila. Jadilah ia berkonsultasi padaku, berhubung aku
adalah teman sebangkunya dan teman akrab pacarnya. Awan sendiri mengetahui
perasaanku pada Risky. Sudah kubilang, ini bukan lagi rahasia antar dua-tiga
orang. Tapi sudah bertransformasi menjadi gosip.
Awan menungguku di sebuah bangku
dekat perumahan rumahku bersama temannya dari kelas sebelah, Apri.
“Udah kamu siapin buat ulang
tahun Dhila?” tanyaku tanpa basa-basi saat aku sudah menemuinya.
“Belum, aku juga bingung nih,”
keluhnya.
Akhirnya aku yang mengusulkan
begini, begini, begini untuk ulang tahun Dhila. Ujungnya, dia justru bingung
sendiri! Hoalaaah.
Karena capek, dan aku juga mulai
bosan, akhirnya Awan menyudahi pembicaraan ini. Aku juga mohon diri ingin
pulang, banyak pekerjaan rumah yang belum kuselesaikan. Sebelum pulang, Awan
mengatakan sesuatu.
“Fir...” panggilnya. “Eh, gak
jadi deh.”
“Apaan? Udah manggil jangan nggak
jadi, deh. Jangan setengah-setengah.”
“Tapi kamu janji ya, jangan
ngomong apapun? Pura-pura aja nggak tahu!” dia meminta kepastian.
“Iya, apaan? Cepetan ngomong.”
“Risky, dia...”
*****
Aku bengong di depan cermin. Tapi
seutas senyum di bibirku tak hilang. Pipiku sudah panas, merona merah. Setiap
aku memikirkan ulang perkataan Awan tentang Risky, rasanya aku ingin tertawa
dan, oh, dadaku sesak oleh perasaan bahagia.
Aku tak mampu menghilangkan semua
tentangnya. Meski aku tak pernah dekat dengannya, meski aku hanya bisa jatuh
cinta diam-diam, meski sudah kuteguhkan dalam hati jika aku ingin melupakannya,
tetapi aku benar-benar tak mampu membohongi perasaanku.
Aku sungguh-sungguh menyukainya.
*****
Hari ini adalah H-1 ulang tahun
Dhila. Kuharap Awan sudah memikirkan ini. Karena dari semua yang kuusulkan
padanya, ditanggapinya dengan tak bersemangat. Tandanya dia kurang setuju
dengan usulku.
Hari ini aku tiba agak terlambat
ke sekolah. Saat kelas sudah ramai, barulah aku tiba. Entah aku yang
benar-benar telat atau Dhila yang datang lebih pagi, dia sudah duduk manis di bangkunya.
Kulirik sekilas ke arah Risky agar tak tampak aku sedang curi-curi pandang.
Seperti biasa, ia tak melihatku. Aku jadi ragu dengan perkataan Awan kemarin.
Tetapi, walau Risky tak melihat
ke arahku saat aku melihatnya, aku bisa merasakan tatapannya ketika aku
membelakanginya. Posisi bangkunya ada di urutan ketiga, baris keempat.
Sementara aku di urutan kedua, baris kedua. Sudah jelas aku membelakanginya.
Nah, di kelas yang sepi karena ada beberapa acara di lapangan basket, hanya ada
aku dan Reta. Dibanding dengan Dhila, aku lebih akrab dengan Reta. Sayangnya,
untuk bercerita aku lebih terbuka pada Dhila. Sebenarnya Reta juga sering
mendengar ceritaku, tetapi tak seintens aku dan Dhila.
Aku merasakan hangatnya
tatapannya. Reta juga menyadari itu. Berulang kali Reta tersenyum padaku,
memberikan kode. Aaaah. Aku tak sabar menanti pembuktian ucapan Awan.
“Risky, dia... ingin menyatakan
perasaannya padamu. Tapi, dia sendiri juga tak tahu kapan akan melakukannya.
Kau tahu, kan? Tidak mudah menyatakan perasaan itu, tapi juga bila
direncanakan, dikhawatirkan semuanya sia-sia. Errgh, kau mengerti maksudku kan,
Fir?”
*****
Aku sedang mengerjakan tugas
Bahasa Inggris saat sebuah dering SMS berbunyi. Aku segera membukanya. Aku
adalah tipe orang yang begitu mendengar ringtone
SMS, segera membukanya. Tapi aku terkaget-kaget saat membaca pesan masuk.
Dari Risky.
Hai, sedang apa? Hm, isi SMS standar. Tapi tak urung hatiku
bernyanyi membacanya. Sudah kubilang, aku adalah tipe yang jatuh cinta
diam-diam. Tak mempunyai keberanian mendekati, apalagi sampai menyatakan
seperti Yuni. Sehingga, aku tak pernah sekalipun meng-SMS-nya. Baru malam ini
aku mendapatkan SMS darinya. Padahal Reta telah memberikanku nomernya. Tetapi
akhirnya kontaknya hanya bisa kupandangi sambil berharap suatu saat dia akan
menelponku, atau setidaknya meng-SMS-ku. Sekali saja.
Dan malam ini, itu terjadi!
Lagi bikin PR Bahasa Inggris. Kamu? balasku sekaligus bertanya. Oh God, aku senang sekali. Aku menutup
bukuku dan menghentikan pekerjaanku.
Apa aku mengganggumu?
Tidak, biasa saja.
Dia mengganggu? Dia gila. Aku
memimpikan mendapat SMSnya tiap malam, dan dia menganggap jika dia mengganggu?
Aha, itu tak akan terjadi.
Jadi, kau sudah belajar? Ehm, maksudku kau sudah selesai dengan Prmu?
Sudah, memang kenapa?
Beneran kamu udah selesai?
Iyaaa, kenapa?
Berarti kalo aku tanya, kamu bisa menjawabnya yaa.
Ehm boleh, boleh. Sippp.
Lama tak ada balasan. Aku
mengirim SMS yang sama berulang kali, tetapi masih belum ada balasan. Aku
sedikit kecewa, padahal aku ingin berlama-lama ngobrol dengannya, walau via
SMS.
Tiba-tiba, HPku membunyikan nada
panggilan. Aku segera membuka SMS dengan terburu-buru. Seutas senyum hadir saat
membaca nama pengirimnya.
Fir, maukah kamu jadi pacarku?
Hah?! Hah?! HAAAHHH?!!!
*****
TO BE CONTINUED
0 komentar:
Posting Komentar