Suatu hari, aku tak tahan lagi. Mungkin aku terlalu terburu-buru. Mungkin juga tidak. Aku mengaguminya selama dua bulan, dihitung sejak ia maju ke depan kelas beberapa waktu lalu. Aku menceritakan ini pada temanku yang tak bisa dibilang akrab dan juga tak dekat. Tapi karena reputasinya yang baik, aku percaya saja, sih. Seharusnya aku cerita saja pada Dhila dibanding dia, yang membuatku menyesal di kemudian hari. Namanya Vioni.
“Vi, aku lagi suka sama orang, nih. Dia anak kelas kita. Tapi jangan tanya siapa orangnya,” ungkapku begitu saja ke inti saat aku sedang berkunjung ke rumahnya.
Raut wajah Vioni tak begitu
jelas. Kebetulan saat itu aku berkunjung pada waktu sore yang mendung. Ditambah
lagi adanya pemadaman listrik, jadi aku menerka saja bagaimana reaksinya.
Pastilah seperti lazimnya kebanyakan orang, Vioni menampilkan wajah penasaran
dan ingin tahu. Tetapi kurasa tebakanku salah begitu mendengar jawabannya.
“Risky, bukan?”
“Risky, bukan?”
Tuiiing! Kok tahu, sih?!
“Hah, kok tahu sih, Vi?” kaget,
ya jelas.
“Ya kelihatan dari kamunya,” kata
Vioni.
“Tapi jangan kau utarakan
padanya,” aku setengah mengancam. “Bisa gawat kalo dia tahu. Malu. Mau
disembunyikan dimana mukaku nanti.”
*****
Semenjak itu, Vioni menyimpan hal
itu. Selain Vioni, aku juga menceritakan pada Dhila. Rasanya tak adil bila
teman sebangkuku sendiri tak mengetahuinya padahal dia juga sering berbagi
cerita padaku. Pada awalnya hanya Vioni. Lalu berlarut-larut beberapa anak
perempuan di kelasku tahu. Seperti Mia, Reta, Sintia, Septi, April, dan Ria.
Tak masalah, asalkan bukan Risky sendiri yang mengetahuinya. Aku percaya,
mereka tak akan memberitahukan ini pada Risky.
Pada hari yang mendung di hari
Rabu. Hari itu guruku tidak masuk. Sudah bukan rahasia umum lagi. Dimana ada
jam kosong, disana akan ada keriuhan. Seperti kelasku saat ini. Aku dan Nanda,
bukan teman sebangku tetapi cukup akrab denganku kala itu, sedang asyik
mengerjakan tugas keterampilan. Sebenarnya yang mengerjakan hanya Nanda. Aku
hanya menggunting-gunting kertas asal. Nah, di tengah keriuhan itu aku
mendengar suara perempuan.
“Ky, aku suka kamu. Mau gak, jadi
pacarku?”
Hah?! Gak salah denger?
Aku masih asyik
menggunting-gunting. Pura-pura tak acuh. Tapi hatiku kebat-kebit mendengarnya. Siapa sih yang gak tahu malu pake bilang
suka ke cowok? Aku mendengus dalam hati. Tanpa diduga, Nanda berkata.
“Kakak tuh gak mau pacaran dulu
katanya.”
Oh, jadi si Risky udah ada
panggilan khusus nih, dari Nanda. Sebenarnya mereka berdua memang sudah dekat.
Ke kantin berdua, ke laboratorium berdua, duduk berdua-dua, sampai banyak yang
bertanya-tanya seperti apa hubungan mereka. Yeah,
termasuk aku. Sayangnya aku gak punya cukup keberanian untuk bertingkah seperti
Nanda. Dan sepertinya si Risky lumayan eksis di sekolahku. Fansnya banyak. Cuma
orangnya saja yang kurang peduli terhadap hal yang seperti itu. Nah, dari
ucapan si Nanda, tampaknya dia juga cukup menyukai Risky. Helloooo, aku yang hanya diam-diaman saja “kepincut”, apalagi yang
sudah dekat seperti mereka.
“Loh, apaan sih Yun? Mainin aku terus,”
kata Risky sambil tertawa-tawa.
Oh, si Yuni yang barusan bilang
suka.
“Aku serius, Risky...”
What the hell?!!
Kukira hanya bercanda. Biasa, si
Risky emang suka dimainin sama anak perempuan kelas seperti itu. Ternyata
tidak. Urusan lebih ruwet lagi saat ternyata Yuni didukung teman akrabnya untuk
terus mengungkapkan dan itu menambah semangat Yuni.
“Yun, kamu serius gak? Kalo kamu
serius, kuterima deh.”
Aku masih asyik menggunting
hingga kertas yang kugunting menjadi serpihan-serpihan kecil. Seperti hatiku
sekarang. Aku menutup telingaku rapat-rapat. Tak ingin mendengar lagi. Aku
menyudahi pekerjaanku.
“Mi, temenin aku ke kamar mandi.
Sekarang.”
“Fir, kamu... baik-baik aja kan?”
tanya Mia khawatir. Seperti yang kuceritakan di awal, Mia juga mengetahui perasaanku
kepada Risky. Tampaknya ini bukan lagi rahasia antara dua-tiga orang, tapi
sudah menjadi gosip!
“Aku... mau ke kamar mandi,
Mi...”
Mia menemaniku ke kamar mandi.
Aku baik-baik saja sampai Mia berkata,” udah, nangis aja kalo emang mau nangis.
Jangan bohongin perasaan kamu sendiri, deh.”
Untunglah koridor kamar mandi sepi.
Aku memeluk Mia, menangis tanpa mengisak di bahunya. Mia menepuk-nepuk
punggungku.
“Udah, gak udah diinget-inget
lagi. Biarin aja. Kamu juga kalo suka sama orang jangan ditutup-tutupin.
Lagian, dia juga udah tahu kok kalo kamu suka dia.”
DEG! “Apaaaa?! Dia.. tahu, Mi?!”
aku syok. Rasa malu gak sebanding dengan rasa sakit di hati. Aduh, gimana
mukaku kalo ketemu dia nanti?
“Vioni yang bocorin ke orangnya.”
*****
Aku berdiri di depan pintu rumah
Vioni. Rasa marah dan malu masih bertumpuk di hatiku. Aku kesaaal. Di saat aku
sudah memercayai seseorang untuk memegang rahasiaku, tetapi orang tersebut
malah mengkhianatinya. Dengan orang yang kusuka!
Untunglah hawa perdamaian masih nyempil sedikit. Aku mengetuk pintu
rumahnya. Tak lama, dia keluar. Wajahnya sama sekali tak menunjukkan rasa
bersalah. Dia juga tampaknya telah mengetahui maksud kedatanganku.
“Vi, aku mau ngomong,” kataku to the point.
Vioni mengajakku ke sudut
terasnya. Lalu mulai menjelaskan tanpa kuminta. Ya, dia sudah tahu itu salah,
tapi dia sama sekali tidak mengucapkan maaf! Helloooo, lagipula dengan minta maaf bisa buat Risky lupa dengan fakta
kalo ‘aku’ menyukainya? Aku menggeram dalam hati.
“Jadi, aku mengatakan kalo kamu
suka dia karena aku tahu kalo dia juga suka denganmu,” jelas Vioni.
“Suka? Jelas-jelas dia menerima
pernyataan cinta Yuni,” dengusku sedikit sinis.
“Nih ya, kukasih tahu kamu.
Sebenarnya dia masih bingung. Dia cerita padaku. Mantannya ngajak balikan lagi,
si Yuni tiba-tiba nembak dia, dan kamu...” Vioni berhenti sejenak. “...suka
dia.”
“Dia suka kamu, tapi dia gak tahu
harus bagaimana sekarang. Bayangin, tiga cewek sedang berputar-putar di
pikirannya sekarang. Kamu tahu sendiri orangnya bagaimana, kan? Nggak pernah
mikir perasaan sendiri. Dia sekarang sedang mikir, bagaimana caranya nggak
nyakitin tiga cewek yang sama-sama suka dia.”
Iya, tapi nggak pake bocorin rahasia juga kali! aku masih tak
terima.
“Kamu sekarang ngerti, kan?”
Aku juga sedang lelah untuk
berkutat di urusan ini. Biarlah, yang terjadi biarlah terjadi. “Ya sudah, aku
pulang dulu ya. Makasih ya, Vi.”
Iya, terima kasih sudah merusak
kepercayaanku.
*****
TO BE CONTINUED
0 komentar:
Posting Komentar