Sebuah Nyanyian Hati #2

Sabtu, 07 Februari 2015

     Ternyata, Risky cukup akrab dengan beberapa anak di kelas. Dengan anak perempuan apalagi! Tapi aku cukup pandai menepis rasa tidak sukaku dengan pura-pura tak acuh. Satu lagi kepribadianku yang dinilai berlebihan oleh teman sekelasku: cuek. Nampaknya ini yang membuatku tak dilirik sama sekali oleh Risky. Pernah sih, tapi seperti biasa, jika dia mengajakku bicara, aku akan menjawab seadanya dan tak menoleh ke arahnya. Mungkin itu sebabnya dia tak melirikku sama sekali. Itu kulakukan karena aku grogi, aku tak ingin terlihat salah tingkah di depannya. Aaargh, Fira dodooool!
      Suatu hari, aku tak tahan lagi. Mungkin aku terlalu terburu-buru. Mungkin juga tidak. Aku mengaguminya selama dua bulan, dihitung sejak ia maju ke depan kelas beberapa waktu lalu. Aku menceritakan ini pada temanku yang tak bisa dibilang akrab dan juga tak dekat. Tapi karena reputasinya yang baik, aku percaya saja, sih. Seharusnya aku cerita saja pada Dhila dibanding dia, yang membuatku menyesal di kemudian hari. Namanya Vioni.
      “Vi, aku lagi suka sama orang, nih. Dia anak kelas kita. Tapi jangan tanya siapa orangnya,” ungkapku begitu saja ke inti saat aku sedang berkunjung ke rumahnya.
Raut wajah Vioni tak begitu jelas. Kebetulan saat itu aku berkunjung pada waktu sore yang mendung. Ditambah lagi adanya pemadaman listrik, jadi aku menerka saja bagaimana reaksinya. Pastilah seperti lazimnya kebanyakan orang, Vioni menampilkan wajah penasaran dan ingin tahu. Tetapi kurasa tebakanku salah begitu mendengar jawabannya.
“Risky, bukan?”
Tuiiing! Kok tahu, sih?!
“Hah, kok tahu sih, Vi?” kaget, ya jelas.
“Ya kelihatan dari kamunya,” kata Vioni.
“Tapi jangan kau utarakan padanya,” aku setengah mengancam. “Bisa gawat kalo dia tahu. Malu. Mau disembunyikan dimana mukaku nanti.”
*****
Semenjak itu, Vioni menyimpan hal itu. Selain Vioni, aku juga menceritakan pada Dhila. Rasanya tak adil bila teman sebangkuku sendiri tak mengetahuinya padahal dia juga sering berbagi cerita padaku. Pada awalnya hanya Vioni. Lalu berlarut-larut beberapa anak perempuan di kelasku tahu. Seperti Mia, Reta, Sintia, Septi, April, dan Ria. Tak masalah, asalkan bukan Risky sendiri yang mengetahuinya. Aku percaya, mereka tak akan memberitahukan ini pada Risky.
Pada hari yang mendung di hari Rabu. Hari itu guruku tidak masuk. Sudah bukan rahasia umum lagi. Dimana ada jam kosong, disana akan ada keriuhan. Seperti kelasku saat ini. Aku dan Nanda, bukan teman sebangku tetapi cukup akrab denganku kala itu, sedang asyik mengerjakan tugas keterampilan. Sebenarnya yang mengerjakan hanya Nanda. Aku hanya menggunting-gunting kertas asal. Nah, di tengah keriuhan itu aku mendengar suara perempuan.
“Ky, aku suka kamu. Mau gak, jadi pacarku?”
Hah?! Gak salah denger?
Aku masih asyik menggunting-gunting. Pura-pura tak acuh. Tapi hatiku kebat-kebit mendengarnya. Siapa sih yang gak tahu malu pake bilang suka ke cowok? Aku mendengus dalam hati. Tanpa diduga, Nanda berkata.
“Kakak tuh gak mau pacaran dulu katanya.”
Oh, jadi si Risky udah ada panggilan khusus nih, dari Nanda. Sebenarnya mereka berdua memang sudah dekat. Ke kantin berdua, ke laboratorium berdua, duduk berdua-dua, sampai banyak yang bertanya-tanya seperti apa hubungan mereka. Yeah, termasuk aku. Sayangnya aku gak punya cukup keberanian untuk bertingkah seperti Nanda. Dan sepertinya si Risky lumayan eksis di sekolahku. Fansnya banyak. Cuma orangnya saja yang kurang peduli terhadap hal yang seperti itu. Nah, dari ucapan si Nanda, tampaknya dia juga cukup menyukai Risky. Helloooo, aku yang hanya diam-diaman saja “kepincut”, apalagi yang sudah dekat seperti mereka.
“Loh, apaan sih Yun? Mainin aku terus,” kata Risky sambil tertawa-tawa.
Oh, si Yuni yang barusan bilang suka.
“Aku serius, Risky...”
What the hell?!!
Kukira hanya bercanda. Biasa, si Risky emang suka dimainin sama anak perempuan kelas seperti itu. Ternyata tidak. Urusan lebih ruwet lagi saat ternyata Yuni didukung teman akrabnya untuk terus mengungkapkan dan itu menambah semangat Yuni.
“Yun, kamu serius gak? Kalo kamu serius, kuterima deh.”
Aku masih asyik menggunting hingga kertas yang kugunting menjadi serpihan-serpihan kecil. Seperti hatiku sekarang. Aku menutup telingaku rapat-rapat. Tak ingin mendengar lagi. Aku menyudahi pekerjaanku.
“Mi, temenin aku ke kamar mandi. Sekarang.”
“Fir, kamu... baik-baik aja kan?” tanya Mia khawatir. Seperti yang kuceritakan di awal, Mia juga mengetahui perasaanku kepada Risky. Tampaknya ini bukan lagi rahasia antara dua-tiga orang, tapi sudah menjadi gosip!
“Aku... mau ke kamar mandi, Mi...”
Mia menemaniku ke kamar mandi. Aku baik-baik saja sampai Mia berkata,” udah, nangis aja kalo emang mau nangis. Jangan bohongin perasaan kamu sendiri, deh.”
Untunglah koridor kamar mandi sepi. Aku memeluk Mia, menangis tanpa mengisak di bahunya. Mia menepuk-nepuk punggungku.
“Udah, gak udah diinget-inget lagi. Biarin aja. Kamu juga kalo suka sama orang jangan ditutup-tutupin. Lagian, dia juga udah tahu kok kalo kamu suka dia.”
DEG! “Apaaaa?! Dia.. tahu, Mi?!” aku syok. Rasa malu gak sebanding dengan rasa sakit di hati. Aduh, gimana mukaku kalo ketemu dia nanti?
“Vioni yang bocorin ke orangnya.”
*****
Aku berdiri di depan pintu rumah Vioni. Rasa marah dan malu masih bertumpuk di hatiku. Aku kesaaal. Di saat aku sudah memercayai seseorang untuk memegang rahasiaku, tetapi orang tersebut malah mengkhianatinya. Dengan orang yang kusuka!
Untunglah hawa perdamaian masih nyempil sedikit. Aku mengetuk pintu rumahnya. Tak lama, dia keluar. Wajahnya sama sekali tak menunjukkan rasa bersalah. Dia juga tampaknya telah mengetahui maksud kedatanganku.
“Vi, aku mau ngomong,” kataku to the point.
Vioni mengajakku ke sudut terasnya. Lalu mulai menjelaskan tanpa kuminta. Ya, dia sudah tahu itu salah, tapi dia sama sekali tidak mengucapkan maaf! Helloooo, lagipula dengan minta maaf bisa buat Risky lupa dengan fakta kalo ‘aku’ menyukainya? Aku menggeram dalam hati.
“Jadi, aku mengatakan kalo kamu suka dia karena aku tahu kalo dia juga suka denganmu,” jelas Vioni.
“Suka? Jelas-jelas dia menerima pernyataan cinta Yuni,” dengusku sedikit sinis.
“Nih ya, kukasih tahu kamu. Sebenarnya dia masih bingung. Dia cerita padaku. Mantannya ngajak balikan lagi, si Yuni tiba-tiba nembak dia, dan kamu...” Vioni berhenti sejenak. “...suka dia.”
“Dia suka kamu, tapi dia gak tahu harus bagaimana sekarang. Bayangin, tiga cewek sedang berputar-putar di pikirannya sekarang. Kamu tahu sendiri orangnya bagaimana, kan? Nggak pernah mikir perasaan sendiri. Dia sekarang sedang mikir, bagaimana caranya nggak nyakitin tiga cewek yang sama-sama suka dia.”
Iya, tapi nggak pake bocorin rahasia juga kali! aku masih tak terima.
“Kamu sekarang ngerti, kan?”
Aku juga sedang lelah untuk berkutat di urusan ini. Biarlah, yang terjadi biarlah terjadi. “Ya sudah, aku pulang dulu ya. Makasih ya, Vi.”
Iya, terima kasih sudah merusak kepercayaanku.
*****
TO BE CONTINUED

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2010 Powered by blogger
Winter Christmas design by freebingo bloggerized by Biyan Networks Brought to you by Dzignine.com