Seperti aku.
Orang yang jatuh cinta diam-diam.
Menulis surat juga hanya ditemani oleh pena, saksi bisu semua ini. Surat untuk
Risky, yang tentu saja tak akan tersampaikan padanya.
Malam ini, kurelakan Risky pergi.
Aku menerima kenyataan bahwa aku hanyalah seorang penonton. Yang menyaksikan
semuanya di luar panggung kehidupannya.
*****
“Halo temankuuu,”
sapa Dhila manis.
Aku
tersenyum saja membalasnya. Ini sudah seminggu sejak... ah, aku tak ingin
mengingatnya lagi. Tapi kurasa Dhila tak mengerti, dia mendekatiku. Membahas
soal kejadian seminggu yang lalu.
“Eh,
aku tahu lho bagaimana kelanjutan kejadian Yuni yang ‘itu’ tuh,” ujarnya
bersemangat.
“Apa
sih, Dhil. ‘Itu’ apaan? Soal Risky? Jangan dibahas lagi, deh. Aku udah mutusin
buat ngelupain semuanya. Fix. Jadi jangan diungkit-ungkit lagi, ya,” pintaku
malas.
Dhila
tertawa, lalu menyenggol-nyenggolku dengan sikunya,”yakin?”
“Yakin!”
“Yakin
gak mau tahu apapun termasuk Risky nolak Yuni? Hehehe.”
“Iyy..!”
Hah?
Risky nolak Yuni?
Badanku
menegang. Kutatap Dhila yang masih saja tertawa-tawa menggodaku. Puas dia
setelah berhasil menggoda teman sebangkunya ini.
“Sini
duduk. Nggak capek apa berdiri terus,” tanpa kujawab apapun dia segera
menyuruhku duduk. Merasa mengerti dengan pikiranku.
Kutarik
bangku di sebelahnya. Saat itu jam istirahat. Tentu saja kelas kosong.
Teman-temanku sedang makan di kantin. Termasuk Risky.
“Hm,
jadi kemarin aku ngobrol sama dia. Kamu pasti tahu kan, dia sudah tahu kalo
kamu suka dia? Sebelum ke topik inti, aku mau nasehatin dikit ke kamu. Jangan
terlalu percaya orang! Udah jelas si Vioni deket dengan Risky, ya jelas ada
kemungkinan dia akan ngasih tahu Risky kalo ada yang suka dia. Emang sih, dia
nggak terang-terangan ngasih tahunya. Dia cuma ngasih kode ‘Ky, ada yang suka
kamu’, ditanya Risky, ‘emang siapa sih?’, nah si Vioni bilang, ‘dia si Cewek
Novel’. Ya jelas Risky tahu kalo itu kamu! Siapa lagi yang maniak novel di
kelas ini selain kamu,” kata Dhila
sedikit menekan kata akhirnya.
“Iya
sih, Dhil. Aku juga nggak hati-hati. Terlalu percayaaa aja sama orang
sembarangan.”
“Nah,
lain kali kalo mau cerita ke aku aja. Aku welcome
kok, lagian aku temen sebangku kamu. Nggak mungkin aku jadi pengkhianat, kan,”
lanjutnya lagi.
“Iya,
iya. Maaf deh...”
“Fuuh
ya udah. Yang terjadi biarlah terjadi. Lanjut ke topik Risky,” Dhila
merendahkan sedikit nada bicaranya. “Si Risky nolak Yuni. Sehari sesudah
kejadian itu, Yuni nanyain lagi kepastian ke Risky. Kamu pasti denger kan, si
Risky bilang ‘Yun, kamu serius? Kalo kamu serius, kuterima deh’, nah itu
ternyata ditanya lagi oleh Yuni ke Riskynya by
phone. Tapi ternyata Risky nolak. Dia nggak serius saat bilang ‘diterima’.”
“Serius,
Dhil?!”
“Ngapain
aku bohong. Dia juga cerita ke aku,” kata Dhila. “Makanya lain kali ceritanya
ke aku! Ke AKU!”
“Iyaaa
Dhilaku sayang.”
Dhila
mendengus. “Dan kamu tahu poin pentingnya lagi?”
“Apa?
Apa? Apa?” tanyaku riang dan penasaran.
“Nggak
ah, tadi katanya nggak mau tahu lagi soal Risky,” Dhila tersenyum nakal.
“Huuuu
kamu payaaah, deh. Yaaa tadi kan kukira dia udah beneran sama Yuni.”
Dhila
tertawa lalu berbisik,” kemarin aku udah bilang ke Risky. ‘Ky, kamu suka kan
dengan Fira? Nyatain, ntar diambil orang, lho’. Dan kamu tahu dia menjawab apa?
Fuuuh, jangan kaget ya. Etss, nggak perlu tegang Firaaa. Tanganmu itu mendadak
mengeras.”
“Dia
bilang... ‘Wait’,” lanjut Dhila sambil tertawa. “Aaaah, Firaaaaaa.”
“Dhil,
kamu... serius?” tanyaku ragu. Aku tak ingin Dhila hanya ingin membuatku senang.
Sudah cukup aku tak percaya lagi pada Vioni. Jangan sampai aku tak percaya pada
Dhila yang notabene adalah teman sebangkuku.
“Ya
ampun, aku serius. Nggak mungkin aku bohongin kamu pake nama Risky,” wajahnya
berubah datar.
Aku
tersenyum. Entah benar atau tidak, tetapi faktanya Risky menolak pernyataan
Yuni. Hal itu saja sudah membuatku senang. Aku benar-benar tak bisa membohongi
perasaanku. Ternyata aku masih sangat menyukainya. Masih berharap banyak
padanya.
*****
Saat itu kehadiranmu...
memberi arti bagi hidupku...
*****
TO BE CONTINUED
0 komentar:
Posting Komentar